Kisah
Imam Syafi’i Bersama Ibunya
Imam an-Nawawi pernah menceritakan bagaimana peran
orangtua perempuan di belakang penguasaan Imam Syafi‘i terhadap fiqh. Ibu Imam
Syafi’i adalah seorang wanita berkecerdasan tinggi tapi miskin. Namun bisa dikatakan
kesetiaannya berada di belakang sang anak lah yang menjadikan Imam Syafi’i
menjadi ilmuwan sejati hingga saat ini.
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat
Syi‘bu al-Khaif. Di sana,
meski hidup tanpa suami, sang ibu telah sukses menerjemahkan visi jangka
panjang untuk membawa nama harum sang anak ke hadapan Allahu ta’ala. Sekalipun
hidup dalam sebatang kara, hal itu tidak menghalangi sang ibu untuk menempatkan
anaknya dalam kultur pendidikan agama yang terbaik di Mekkah.
Sang ibu sadar, ia tidak memiliki banyak uang, namun
kecintaananya terhadap Allah dan buah hatinya, sang ibu meluluhkan hati sang
guru untuk rela mengajar Imam Syafi’i meski tanpa bayaran.
Sekalipun hidup dalam kemiskinan, kecintaan Imam
Syafi’i tak sama sekali membuatnya pantang menyerah dalam mencintai Islam dan
menimba ilmu. Beliau sampai harus mengumpulkan pecahan tembikar, potongan
kulit, pelepah kurma, dan tulang unta semata-mata demi kecintaannya dalam
menulis Islam. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan
tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan
hadits-hadits Nabi.
Hingga pada usia sebelum beranjak ke 15 tahun, Imam
Syafi’i menceritakan hasratnya kepada sang ibu yang sangat dikasihinya tentang
sebuah keinginan seorang anak untuk menambah ilmu diluar Mekkah. Mulanya sang
bunda menolak. Berat baginya melepaskan Syafi’i, dalam sebuah kondisi dimana
beliau berharap kelak Imam Syafi’i tetap berada bersamanya untuk menjaganya di
hari tua.
Namun demi ketaatan dan kecintaan Syafi’i kepada
Ibundanya, maka mulanya beliau terpaksa membatalkan keinginannya itu. Meskipun
demikian akhirnya sang ibunda mengizinkan Imam Syafi’i untuk memenuhi hajatnya
untuk menambah Ilmu Pengetahuan ke luar kota.
Sebelum melepaskan Syafi’i berangkat, ibunda Imam
Syafi’i menjatuhkan doa ditengah rasa haru orangtua kandung memiliki anak yang
telah jatuh hati pada ilmu,
“Ya Allah Tuhan yang menguasai seluruh Alam! Anakku ini
akan meninggalkan aku untuk berjalan jauh, menuju keridhaanMu. Aku rela
melepaskannya untuk menuntut Ilmu Pengetahuan peninggalan Pesuruhmu. Oleh
karena itu aku bermohon kepadaMu ya Allah permudahkanlah urusannya.
Peliharakanlah keselamatanNya, panjangkanlah umurnya agar aku dapat melihat
sepulangnya nanti dengan dada yang penuh dengan Ilmu Pengetahuan yang berguna,
amin!”
Setelah usai berdo’a, sang ibu memeluk Syafi’i kecil
dengan penuh kasih sayang bersama linangan air mata membanjiri jilbabnya. Ia
sangat sedih betapa sang anak akan segera berpisah dengannya. Sambil mengelap
air mata dari wajahnya, sang ibu berpesan,
“Pergilah anakku. Allah bersamamu. Insya-Allah engkau
akan menjadi bintang Ilmu yang paling gemerlapan dikemudian hari. Pergilah
sekarang karena ibu telah ridha melepasmu. Ingatlah bahwa Allah itulah
sebaik-baik tempat untuk memohon perlindungan!” Subhanallah
Selepas mendengar doa itu, Imam Syafi’i mencium tangan
sang ibu dan mengucapkan selamat tinggal kepada ibunya. Sambil meninggalkan
wanita paling tegar dalam hidupnya itu, Imam Syafi’i melambaikan tangan mengucapkan
salam perpisahan. Ia berharap ibundanya senantiasa mendo’akan untuk
kesejahteraan dan keberhasilannya dalam menuntut Ilmu.
Imam Syafi’i tak sanggup menahan sedihnya, ia pergi
dengan lelehan airmata membanjiri wajahnya. Wajah yang mengingatkan pada
seorang ibu yang telah memolesnya menuju seorang bergelar ulama besar. Ya ulama
besar yang akan dikenang sampai kiamat menjelang.
Itulah peran yang ditopang seorang ibu yang selalu
memasrahkan buah hatinya kepada Allah berserta kekuatan tauhid yang menyala-nyala.
Inilah karakter sejati seorang ibu yang telah menyerahkan jiwa raga anaknya
hanya kepada ilmu. Menyerahkan segala aktivitasnya dalam rangka pengabdian
kepada Allah. Dari mulai ia melahirkan, mengasuhnya tanpa suami,
membesarkannya, hingga mengantar Syafi’i menjadi Imam Besar Umat Islam hingga
kini.
mengenal lebih dekat
Nama dan Nasab Imam Syafi'i
Beliau
bernama Muhammad dengan kun-yah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap
adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin
‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay.
Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay.
Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih
terhitung keturunan paman-jauh beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak
beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di
jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di
Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota
tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih
muda di sana.
Syafi‘, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau
(Syafi‘i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi.
As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki
kemiripan fisik dengan Rasulullah saw. Dia termasuk dalam barisan tokoh
musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus
sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli
sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal
dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian
mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab
Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari
kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah
asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.
Adapun
ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat
mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang
lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kun-yah
Ummu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang
wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang
yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu
dan Tempat Kelahirannya
Beliau
dilahirkan pada tahun 150H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga
dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu
Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang
tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang
berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota
yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah
Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota
Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu
Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan
dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di
wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz
dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu
berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau
dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan
terlupakan.
Pertumbuhannya
dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di
Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu
mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk
membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat
kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di
al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar
di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya.
Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku,
“Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.” Dan ternyata kemudian
dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi
murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia
baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah
rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil
Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan,
beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan
tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis.
Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang,
pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi.
Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan
bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca
dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum
beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau
juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau
memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah
terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya,
sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan
menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu
hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa
dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan
lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim
bin Khalid az-Zanji -mufti kota
Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka
beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan
pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau
mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim
bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang
masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-,
Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain.
Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’
Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan
menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap
ayat 60 surat
Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya
pasti mengena sasaran.
Setelah
mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk
mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya.
Terlebih lagi di sana
ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam.
Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di
Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani
mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat
pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama
Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf
bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.
Setelah
kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil
ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain.
Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu
dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau
menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan,
dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang
yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada
Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan
bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana
dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani
‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu,
setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan
orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap
sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang
sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu
menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada
diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi
menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap
ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya
kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan
membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya
itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya
sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam
Syafi‘i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini
ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini
keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan
beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah
yang terdapat dalam Alquran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau
itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai
ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan
dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan,
membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad
dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah.
Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun
ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit.
Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal
kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan
penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan
dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan
Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau
meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan
bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di
Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti
dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah
kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma‘il bin ‘Ulayyah dan
Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama
Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka
mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba,
ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama
beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai
akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah
Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika
kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad,
Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat
kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi
khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat
Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal,
Ar-Risalah.
Setelah
lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke
Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat
sambutan meriah di Baghdad karena para ulama
besar di sana
telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits
merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh
Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di
Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika
hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau
menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke
Mekkah. Di sana
beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu
kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di
Mekkah.
Tahun
198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi
perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli
kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara
Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu
bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh –yang selama
ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena
orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi
setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka
tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul
kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab
mereka.
Dan
begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak
musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal
sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan
memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang
masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad
bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke
Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya
kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis
sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau
menemui akhir kehidupannya di sana.
Keteguhannya
Membela Sunnah
Sebagai
seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu
masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi
sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil
dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama
dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah
Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang
lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat
gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat
banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat
perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang
berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya
adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan
belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan
sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah
dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada
fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu
kalam dan ahlinya” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i membenci
kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.”
Ketidaksukaan
beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam
adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan
digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu
adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu
kalam.
Wafatnya
Karena
kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang
selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga
akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat
Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga
Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi
menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia
berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu
Abdillah ?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas
dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus”
Karangan-Karangannya
Sekalipun
beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan
jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak
kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut
al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut
al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya
disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat.
Yang
paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4
jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya)
mengenai Al-Quran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.